Kenapa Sekarang Siswa Lebih Sulit Diajari?

Rabu, 02 Oktober 2013

advertisement
 Malas melahirkan teknologi (alat) – teknologi melahirkan kemalasan dan melemahkan kecakapan - gara-gara teknologi orang jadi bodoh

Sekarang aku baru pulang kuliah. Aku kelelahan dan Alhamdulillah hari hampir hujan, kurasa aku tidak akan mengajar privat nanti malam. Di sepanjang jalan tadi aku melewati begitu banyak lampu merah yang mati. Betapa bodohnya PLN di Negaraku yang tak memisahkan aliran listrik fasilitas kota dengan aliran listrik perumahan. Memang belakangan ini PLN agak sering melakukan pemadaman bergilir. Hampir 3 kali sehari. Supir angkotnya sampai curhat samaku tadi. “Padahal listrik ini kita bayar.”

Aku jadi teringat cerita Khalifah Umar yang lain dari buku yang baru kubeli itu. Aku rasa jauh sekali tingkat tanggung jawab sosial pegawai pemerintahan kita dibanding dengan pegawai Umar.



Hari ini aku akan menulis tentang tekonologi dan kecakapan khusus yang baru kemarin kubicarakan sama adik-adik kelasku.

Seringnya aku memamerkan kemalasanku pada adik kelasku. “Aku tak pernah mengerjakan tugas, aku tak pernah bawa pulpen atau kertas ke kelas, aku dengan bangga mengatakan santai saja saat tugas akan dikumpul besok atau dua jam lagi.” Aku bangga dengan diriku yang tetap survive dan sejajar dengan yang rajin saat aku bermalas-malasan secara maksimal. Aku bangga dengan kemalasanku.
Kemalasan adalah Ibu dari Teknologi
Aku selalu mengatakan, “Kemalasan adalah ibu dari teknologi.” Bagaimana bisa? Ya tentu saja, orang menciptakan mobil karena malas berjalan, orang menciptakan handphone dan email karena malas pergi ke kantor pos, orang menciptakan mesin cuci karena malas mencuci, orang menciptakan laptop karena malas menulis.

Aku terus menerus mengatakannya seolah tak ada yang salah dengan kemalasan. (Tapi aku juga mewanti-wanti mereka bahwa aku adalah pengecualian, aku bukan untuk ditiru dan diteladani seperti Nabi, aku agak beruntung)

Jadi lanjut, aku mengatakan, “kemalasan adalah ibu dari teknologi” dan “aku adalah ibu dari kemalasan.” Jadi aku ini neneknya teknologi.


Kita baru masuk ke inti cerita di paragraph ini. Jadi kemarin aku sedang diserbu adik kelasku yang datang seperti lebah mengamuk. Mereka bertanya sesuatu entah tentang kalkulus, matematika diskrit, aljabar linier, persamaan differensial atau apalah itu. “Bang yang ini macemana bang? Terus yang ini cemana pulaknya bang?” Begitulah kalau aku melanggar aturan “DATANGLAH TEPAT WAKTU” dengan dating terlalu cepat.

Waktu menerangkan jawabannya, aku, seperti biasa, menggunakan perhitungan yang agak sedikit (sebenarnya sangat) cepat. Dan itu selalu membuat mereka kagum-kagum, seperti juga halnya kemarin. Dan mereka bertanya, “apa rahasianya bisa berhitung sebegitu cepatnya bang?” (aku akan membuat videonya nanti supaya kita semua bisa nonton)

Aku pun menjawab. “Aku dulu gak punya kalkulator.” Sementara teman-temanku dulu menghitung dengan mudahnya dengan kalkulator, aku dipaksa berhitung sendiri dengan otakku. Dan sebagaimana juga otot, otak juga akan membesar jika dilatih terus menerus.

Orang yang tak punya kalkulator akan dituntut berlatih menghitung lebih banyak. Dan aku akhirnya menemukan cara-cara cepatku sendiri dalam menghitung banyak hal. Semua jadi tampak begitu sederhana saat aku menjelaskan cara-cara cepat itu pada adik-adik kelasku.

Contoh lain yang terjadi pada diriku sendiri adalah, saat ini aku tak memegang sebuah hape yang punya keypad, sehingga aku harus pinjam tutup pulpen orang untuk mengetik sms padanya. Ini juga menyulitkanku dan membuatku tambah malas menge-save nomor orang lain. AKibatnya apa? Aku jadi makin cakap menghapal nomor handphone orang. Ini adalah kecakapan baru yang kupunya.

Kalian yang kontak hapenya masih bagus pasti hanya hapal dua atau tiga nomor kenalan kalian. Bahkan nomor sendiri pun ada yng tidak hapal. Sementara aku yang tak pernah mengesave nomor hape temanku, jadi harus pelan-pelan menghapal nomor mereka, karena mau tak mau aku menulis atau membacanya saat sms. Hebat kan?


Jadi disini kita dapat ilmu baru. “Keterbatasan melahirkan kecakapan.”

Perhatikan orang yang tak punya kalkulator pasti ia bisa lebih jago menghitung ketimbang yang terbiasa menggunakannya. Perhatikan orang yang tidak punya laptop pasti tulisannnya lebih bagus dari yang punya. Perhatikan orang yang punya software SPSS, pasti ia masih kalah jago dengan orang yang bisa menghitung sendiri rumus-rumus statistika.

Intinya jika seseorang bergantung pada alat atau teknologi maka kecakapannya tidak lagi ada padanya tapi pada teknologi yang ia pegang. Tentu saja. Bandingkan ilmu matematika orang zaman kita sekarang ini dengan mereka yang ada di mesir kuno dulu? Apakah kamu bisa mengukur tinggi pyramid tanpa penggaris? Orang mesir bisa. Apa kamu bisa menentukan kapan musim panen hanya dengan melihat bintang? Tidak kan? Itu tanda kamu sudah ketergantungan dengan kalender.


Masih mau lebih banyak bukti?

Perhatikan orang yang tak punya tangan, pasti ia lebih jago menggunakan kaki-kakinya ketimbang kita. Perhatikan orang yang pengelihatannya terbatas, pasti telinganya lebih hebat dari telinga kita. Ini juga berlaku pada hal lainnya. Perhatikan orang yang tak pernah makan enak pasti ia lebih tahu cara mensyukuri makanan. Dan semua hal lain yang masih bisa kalian pikirkan juga begitu.


Jadi sebenarnya kedua prinsipku ini kontradiktif.

“Aku adalah nenek dari teknologi”
“Teknologi menghancurkan kecakapan”

Tapi aku cukup cakap dalam beberapa hal. Makanya aku selalu bilang aku ini beruntung, jangan tiru aku.


Endingnya agak kurang seru ya, tapi gpp. Aku yakin sebagaimana repetanku, celoteh dan luapan kepalaku yang lainnya kalian pasti sudah dapat sesuatu dari posting ini. Terima kasih sudah membaca silakan kembali lagi, dan komentar kalau perlu. Daaa..


Malas melahirkan teknologi (alat) – teknologi melahirkan kemalasan dan melemahkan kecakapan.
 

Tulisan Populer

BERLANGGANAN VIA EMAIL

Selalu ketinggalan tulisan terbaru kami? Tinggalkan saja alamat emailmu! Jadi kami bisa memberi kabar tiap kali sebuah tulisan baru terbit.