Penentuan Kiblat Muslim Dahulu (Geometri dan Trigonometri)

Rabu, 15 Desember 2010

advertisement
segitiga bola didasari oleh pencarian umat muslim terhadap kiblat
”Palingkanlah mukamu ke Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya…” (QS 2:144)

Selama berabad-abad, umat Muslim di seluruh dunia melaksanakan salah satu perintah Allah SWT dalam Alquran, shalat lima waktu menghadap ke kiblat di Makkah. Akan tetapi, bagi mereka yang berada jauh dari Makkah, tentu cukup sulit untuk menentukan arah kiblat secara tepat. Tak jarang urusan kiblat ini lantas menimbulkan perdebatan. Beberapa masjid di Kairo misalnya, memiliki dua kiblat yang masing-masingnya berbeda antara 10 derajat. Satu kiblat berada di luar ruangan dan satunya lagi di dalam ruangan. Di Amerika Utara demikian pula.


Sejumlah umat Muslim melaksanakan shalat menghadap ke arah timur laut, mengikuti garis bujur bumi menuju Makkah, sementara banyak umat Muslim lainnya yang shalat menghadap arah tenggara. Para ilmuwan Muslim pada abad lampau sebenarnya telah menggunakan rumus dan metode matematika canggih guna mencari solusi dari masalah kiblat. Pada masa ketika bangsa Eropa masih mempercayai bumi berbentuk datar, sejumlah ilmuwan Muslim sudah memiliki asumsi tersendiri menyangkut bentuk bumi yang melengkung. Sebuah penemuan penting membuktikan bahwa apa yang dicapai ilmuwan serta ahli matematika Muslim telah melampaui apa yang pernah dibayangkan. Peta Makkah sebagai pusat dunia. Peta ini mampu mengindikasikan arah dan jarak kota Makkah dari setiap titik lokasi di mana pun di dunia. Ini adalah sebuah peta yang tidak diketahui kalangan Barat hingga abad ke-20.

David King, ahli ilmu sejarah dari Johann Wolfgang Goethe University di Frankfurt, Jerman, mengatakan, ”Saya sudah bekerja menekuni subjek ini (kiblat) selama 20 tahun, dan penemuan peta ini amatlah mengejutkan.” Selama hampir satu dekade, King terus menerus mempelajari dan meneliti siapa yang membuat peta ini, serta yang terpenting, siapa pula yang telah mendesainnya. Hasilnya, sebagian besar bukti yang dia temukan mengarahkannya ke kota Isfahan –kini berada di negara Iran– pada zaman dinasti Safavid (mulai tahun 1502 hingga 1722). Akan tetapi, diyakini bahwa metode garis-garis penghubung yang menjadi unsur terpenting pada peta tersebut sudah diketemukan berabad-abad sebelumnya. Peta pertama dari dua yang kemudian ditemukan, menarik perhatian dunia tepatnya di tahun 1989, tatkala berlangsung acara lelang di balai Sotheby’s London. Setelah itu, seorang kolektor benda-benda bersejarah menemukan peta kedua di sebuah toko barang antik di Paris tahun 1995.

Tampilan keduanya sangat mirip satu sama lain. Ini memunculkan spekulasi bahwa peta-peta tersebut dibuat oleh ‘pabrik’ yang sama. Lebarnya sekitar sembilan inci serta terdapat tiga komponen utama; sebuah kompas, penunjuk waktu dengan matahari dan sebuah titik tengah lingkaran yang menjadi patokan penentu arah dan jarak ke Makkah. Tentunya tidak ketinggalan garis-garis latitude (bujur) dan longitude (lintang), di mana garis latitude ditampilkan dalam bentuk lingkaran sedangkan longitude melalui garis vertikal. Ada lebih dari 100 titik ditemukan pada peta tersebut yang mengindikasikan banyaknya lokasi. Dan Makkah, adalah pusatnya. Karena instrumen peta ini tidak dimaksudkan bagi kepentingan navigasi, maka bentuk dan penampilannya berbeda dari peta-peta konvensional pada umumnya, tidak ada gambar gunung, laut atau tanah.

”Tidaklah mengherankan apabila mereka dahulu memiliki acuan data dari peta ini, serta juga motivasi (untuk menentukan arah kiblat),” kata Len Berggren, ahli sejarah matematika dari Simon Fraser University di Vancouver, Kanada. ”Namun yang masih menjadi pertanyaan besar adalah bagaimana seseorang dapat menciptakan penemuan seperti itu.” Dalam hal ini, banyak kalangan ilmuwan Barat tak hanya mengagumi penggunaan garis bujur dan lintang dalam menentukan arah kiblat. Mereka juga kagum, betapa ketepatan arah dan jarak yang ditampilkan pada peta tersebut ternyata sangat kecil margin kesalahannya. Menurut penjelasan King, para pembuat peta dari Artisan tidaklah mungkin bisa membuat sendiri garis-garis dan perhitungan yang sedemikian akurat; meraka mungkin ahli di bidang astronomi, tapi bukan ahli matematika. Sehingga besar kemungkinan, ada model awal yang menjadi patokan.

Jadi, dari mana model yang asli itu berasal? King punya jawabannya. Pada awal abad 9, ahli astronomi Muslim telah berhasil menemukan metode guna mengkalkulasikan arah kiblat, yang pada tahap awal mampu menentukan jarak ke Makkah. Peta tadi kemungkinan juga dibuat pada era yang sama. Sementara itu, rekan sejawat King yakni Francois Charette, menunjukkan bahwa garis-garis tadi merupakan penerjemahan dari ekuator ke dalam sebuah bentuk katastropi. Alternatifnya, ilmuwan yang mendalami metode trigonometri mungkin akan menganggap peta ini sebagai penyederhanaan yang mutakhir. Dari sini King lantas menduga Abu Rayhan al-Biruni (973-1048), seorang ilmuwan muslim terkemuka yang tinggal di Ghazna–kini Afganistan–adalah tokoh terpenting di balik semua pemikiran tentang arah kiblat. Namun, sayangnya, bukti-bukti sejarah ini kurang dikemukakan kepada publik dunia.

Katalog dari balai lelang Sotheby’s yang diedarkan saat acara lelang menyebutkan; ”… peta ini merupakan inspirasi Eropa Barat… dan instrumen langka tersebut adalah bukti asimilasi dari ilmu pengetahuan barat di Persia abad 18.” King sangat tidak sependapat dengan penjelasan dalam katalog tersebut, berdasarkan pada bukti fisik serta sejarah yang ada. Kendati para ahli matematika barat bekerja keras memecahkan masalah seputar arah kiblat ini, imbuhnya, mereka tidak akan begitu saja sampai pada kesimpulan yang sangat dipengaruhi oleh penemuan ilmuwan Muslim abad 9. ”Fakta bahwa instrumen ini dipergunakan untuk menentukan jarak, merupakan argumen yang tidak bisa dibantah lagi pada awal kebangkitan Islam.” Di samping itu, tidak ada bukti pula bahwa ilmuwan Barat yang berada di Persia pada waktu tersebut membawa serta penemuan seperti peta pusat dunia-Makkah.

Sekiranya mereka memilikinya, mereka pasti tidak menginginkannya. Tujuan mereka pergi ke Persia adalah untuk mengkristenkan orang Muslim di sana, bukan untuk membantu mempermudah melaksanakan ibadah. Lebih jauh diharapkan setelah ini lebih banyak bukti baru yang terungkap. ”Memang demikian, hingga kini masih banyak manuskrip Arab yang terbengkalai, bukan hanya belum dipelajari akan tetapi belum dimasukkan dalam katalog di perpustakaan-perpustakaan,” ungkap Berggren. Manuskrip-manuskrip itu mungkin saja menyimpan data dan deskripsi yang sama dengan peta arah kiblat tersebut, yang belum diketahui sebelumnya lantaran para ahli belum mengetahui kegunaannya. Lanjut Berggren,”Bukan cuma kita sekarang tahu apa yang hendak kita cari, namun juga bahwa kita tahu kemanfaatannya.”


 

Tulisan Populer

BERLANGGANAN VIA EMAIL

Selalu ketinggalan tulisan terbaru kami? Tinggalkan saja alamat emailmu! Jadi kami bisa memberi kabar tiap kali sebuah tulisan baru terbit.